Percikan Samudera Hikmah: Syarah Hikam Ibnu Atho'illah As Sakandari

    Author: Unknown Genre: »
    Rating


    Penulis: Muhammad Luthfi Ghozali 
    :: Pengasuh Ponpes Al-Fithrah, Gunungpati-Semarang ::
    Penerbit: Siraja, Jakarta 2011
    Ed. 1. Cet. 1;xvi, 596 hlm; 23 cm
    ISBN 978-979-3542-13-3
    Cetakan Ke-1, Oktober 2011
    Harga : Rp.120.000,-
    (harga belum termasuk ongkos kirim) 

     
    Kitab al-Hikam karya Syekh Ibn Atthaillah al-Iskandari, Mursyid besar generasi ketiga dalam Tarekat Syadziliyyah, menempati kedudukan khusus dan istimewa dalam tradisi Tasawuf secara umum. Pengaruhnya tak diragukan lagi; membentang ke hampir semua wilayah Islam yang ada di muka bumi. Bahkan bisa dikatakan, kitab al-Hikam menjadi sumber utama untuk memahami perspektif ajaran Tasawuf dalam tradisi Syadziliyyah pada khususnya, dan sekaligus untuk memahami tema universal dalam psikologi-ruhani-mistis di dalam kerangka ajaran Tasawuf pada umumnya, sehingga ia juga dibaca dan diepelajari oleh para sufi dan ahli tarekat di luar Syadziliyyah.

    Telah banyak syarah (penjelasan) atas al-Hikam yang ditulis oleh sufi-sufi generasi selanjutnya, seperti seperti Abdullah As-Syarqawi (Syarh al-Hikam), Abdul Majid as-Syarnubi (Syarh al-Hikam), Syekh Ahmad Zarruq (al-Futuhat ar-Rahmaniyyah dan Miftah al-Fadhail), Ibn Abbad ar-Rundi (Syarh al-Hikam) dan Ibn Ajibah (Iqazh al-Himam). Syarah ini dipakai sebagai sumber sekunder untuk mengajarkan kitab al-Hikam di berbagai zawiyah tarekat di seluruh dunia, termasuk pula di kalangan pesantren di Indonesia.

    Buku ini adalah salah satu dari sedikit syarah al-Hikam yang lahir dari penulis asli Indonesia – dan karenanya syarah ini memiliki posisi yang unik. Ada beberapa alasan. Pertama, setiap karya keruhanian, selain memuat tema yang universal, juga mengandung elemen “lokal,”  yakni setidaknya dipengaruhi oleh faktor kapabilitas penulisnya (daya nalar, maqam spiritual, kemampuan bahasa, dan sebagainya), oleh faktor ruang (lingkungan yang membentuk penulisnya), dan waktu (zaman di mana sebuah karya ditulis). Karena itu, karya semacam ini mampu membawa pembaca yang hidup dalam tata-situsi ruang dan waktu yang relatif sama untuk memahami suatu dunia yang lain, sebuah dunia ruhani, yang sumbernya berasal dari tata-situasi yang berbeda dalam hal bahasa, jarak dan waktu. Karya semacam ini bisa menyentuh unsur humanitas esensial pembaca dengan cara membangkitkan kebutuhan dan aspirasi bersama, karena ditulis dalam konteks yang relatif familiar dari segi bahasa, budaya dan waktu. Kedua, syarah ini ditulis bukan hanya berdasarkan analisis intelektual belaka; tetapi, ia juga ditulis berdasarkan pengalaman ruhani penulis, dan berdasarkan interaksi “esoteris” penulis dengan setiap elemen lahir dan batin yang dikandung dalam kitab al-Hikam.

    Kyai M. Luthfi Ghozali, sebagai imam khususi dalam Tarekat Qadiriyyah-Naqsybandiyyah al-Utsmaniyyah, telah melakukan semacam olah-ruhani sebelum dan selama menulis syarah ini. Karenanya, ada unsur “kesinambungan ruhaniah” dalam syarah ini dengan kitab aslinya (dan, boleh jadi, dengan penulisnya); hal ini pada gilirannya menyebabkan syarah ini memiliki nilai lebih dan otoritatif.
    Untuk lebih memahami dan mengapresiasi karya spiritual klasik ini, ada baiknya kita tengok dulu situasi historis yang melingkupi penulis al-Hikam dan tradisi tasawuf pada zamannya – tata-situasi dan pribadi macam apa yang melahirkan seorang tokoh tasawuf dan karya yang dirawat dan berpengaruh besar dalam dunia Islam selama berabad-abad?

    Dalam tasawuf ada ungkapan yang memiliki makna berlapis: “sufi adalah putra waktu.” Maka, zaman seperti apakah yang telah membentuk karakter luar biasa seperti yang dicontohkan oleh Syekh Ibn Atthaillah dan banyak sufi agung lainnya? Dunia Tasawuf pada saat itu mengalami apa yang bisa dikatakan sebagai kristalisasi ajaran, yang salah satu ekspresinya adalah lahirnya tarekat dan penulisan risalah-risalah penting tentang ajaran Tasawuf. Tetapi di sini kami hanya akan membatasi diri pada tradisi yang relevan dengan Syekh Atthaillah, yakni tasawuf maghribi pada umumnya, dan tradisi Tarekat Syadziliyyah pada khususnya.

    Tarekat Syadziliyyah, yang didirikan oleh Syekh Abu Hasan al-Syadzili, berakar dalam tradisi tasawuf maghribi. Kecenderungan utama Tasawuf Maghribi sangat dipengaruhi oleh seorang sufi besar, seorang yang diyakini telah menempati maqam Qutb a;-Awliya, Syekh Abu Madyan dari Tilimsani. Syekh Abu Madyan ini menguasai kandungan kitab Tasawuf penting, semisal ar-Risalah karya Abu Al-Qasim, Al-Qusyairi dan Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Syekh Abu Madyan juga berteman dan berguru kepada Syekh Ahmad Rifa’i, seorang Wali Qutub pendiri Tarekat Rifa’iyyah di Irak. Selain itu Syekh Abu Madyan juga menerima khirqah (jubah kesufian) dari Sulthan al-Awliya Syekh Abdul Qadir Al-Jilani.  Syekh Abu Madyan ini hidup sezaman dengan sufi agung lainnya dari kawasan Andalusia (Spanyol), Syekh Akbar Ibn ‘Arabi, sufi masyhur sekaligus kontroversial karena dianggap sebagai tokoh penting dalam penyebaran ajaran wahdat al-wujud. Salah satu murid Syekh Abu Madyan yang juga dianggap sampai ke posisi Qutub adalah Syekh Abdus Salam ibn Masyisy. Beliau ini mengabdikan diri untuk berdakwah. Keinginannya adalah menjaga kemurnian ajaran Islam di tengah-tengah suku Berber yang gemar pada praktik perdukunan dan sihir. Belakangan beliau kemudian mengundurkan diri di puncak gunung yang bernama Jabal ‘Alam, yang berada di kawasan Habt di Maghribi. Di sinilah kelak beliau bertemu dengan murid utamanya, yang juga penerus spiritualnya yang masyhur, Syekh Abu Hasan al-Syadzili.

    Seperti yang sering terjadi di lembaga apapun, pendiri Syadziliyyah mewariskan “ruh”, bukan kerangka “bangunan”. Beliau menyerahkan pengembangan kerangkanya kepada para pewarisnya. Murid pertama yang mengemban amanah penting ini adalah Syekh Abu Abbas al-Mursi. Syekh Abbas al-Mursi inilah orang pertama yang membangun zawiyah khusus di sekitar masjid Aleksandria, Mesir. Salah satu murid yang berhasil menangkap “ruh” ajaran Syekh Abu Hasan Syadzili melalui Syekh Abbas al-Mursi adalah Syekh Ibn Atthaillah, melalui karyanya yang paling terkenal, Kitab al-Hikam. Berkat popularitas al-Hikam ini, tarekat Syadziliyyah bisa diterima kembali di kawasan Afrika Utara, tempat di mana tarekat ini pernah disingkirkan dari sana.

    Nama lengkapnya Syekh Ibn Atthaillah adalah Syekh Ahmad ibn Abi Bakr Muhammad ibn Abi Muhammad Abdul Karim ibn Abdur Rahman ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn al-Husain ibn Athaillah al-Iskandari. Diperkirakan beliau lahir sekitar tahun 650 H. Sejak kecil beliau telah dipersiapkan untuk menjadi ahli fiqh mazhab Maliki. Beliau berguru kepada ulama-ulama yang terbaik di bidangnya, seperti bidang tata bahasa, hadits, tafsir, ilmu kalam dan fiqh. Kakeknya cenderung kurang menyukai ajaran Sufi dan bahkan memusuhi Syekh Abu Abbas al-Mursi, guru besar  generasi kedua dalam Tarekat Syadziliyyah. Bahkan Syekh Athaillah sendiri pada mulanya berseberangan dengan Syekh Abbas al-Mursi. Pada masa mudanya Syekh Ibn Athaillah sudah terkenal sebagai faqih mazhab Maliki yang mumpuni. Beliau pernah beradu argumentasi dengan beberapa murid Syekh Abu Abbas al-Mursi.

    Namun akhirnya beliau menemui langsung Syekh Abu Abbas al-Mursi untuk membahas beberapa masalah agama. Pertemuan ini menjadi saat yang menentukan dalam hidupnya. Beliau akhirnya justru menjadi murid Syekh Abu Abbas al-Mursi dan menjadi salah satu murid kesayangannya. Bahkan Syekh Abu Abbas al-Mursi sudah meramalkan bahwa Syekh Ibn Athaillah tidak akan meninggal sebelum menjadi dai yang menyeru ke Jalan Allah. Dan perkiraannya itu terbukti. Di Kairo, Syekh Ibn Athaillah menghabiskan sisa hidupnya sebagai Guru Sufi sekaligus faqih bermazhab Maliki yang termasyhur. Selain menjadi Mursyid Tarekat Syadiziliyyah, Syekh Ibn Athaillah juga menjadi juru dakwah dan mengajar di berbagai madrasah dan institusi besar seperti Al-Azhar. Pada masa-masa ini pula Syekh Athaillah dikenal juga membela ajaran Sufi dari serangan Ibn Taimiyyah. Syekh Ibn Athaillah sendiri sempat bertemu dengan Ibn Taimiyyah dan melakukan dialog. Namun dialog ini tidak menimbulkan perdebatan sengit lebih lanjut dan diakhiri dengan sikap saling menghormati. Syekh Ibn Athaillah meninggal pada bulan Jumadilakhir tahun 709 H/1309 M. Makamnya di al-Qarrafah al-Kubra hingga kini terkenal sebagai makam keramat dan diziarahi oleh banyak orang Islam.

    Syekh Atthaillah mewariskan beberapa karya. Kitab al-Hikam adalah kitab yang meski sangat populer namun menurut menurut keterangan Syekh Zarruq, kitab ini tidak ditulis sendiri oleh Syekh Ibn Athaillah, namun didiktekan kepada muridnya yang bernama Syekh Taqiyyuddin as-Subki, seorang ahli fiqh dan kalam yang terkenal akan ketelitian dan kejujurannya.  Kitab karyanya yang lain adalah Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah, yang berisi penjelasan tentang metode zikir. Di dalamnya beliau memaparkan beberapa jenis zikir dan Asma Allah yang cocok untuk berbagai kondisi murid. Kitab At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir merupakan penjelasan ajaran Tarekat Syadiziliyyah tentang berbagai bentuk kebajikan, seperti ikhlas, harapan, cinta, dan sebagainya. Lathaif al-Minan merupakan kitab yang menjelaskan biografi dua tokoh Tarekat Syadziliyyah dan ajaran-ajarannya, yakni biografi Syekh Abu Hasan al-Syadzili dan Syekh Abu Abbas al-Mursi. Di dalamnya juga dipaparkan keterangan tentang Wali Allah dan beberapa amalan utama (zikir, hizb dan doa) dua Wali Allah tersebut.  Kitab Al-Qash al-Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad, yang menyajikan pembahasan ringkas Asma al-Husna, dengan pemaparan teori metafisika Asma al-Husna. Kitab Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib an-Nufus, berisi kutipan-kutipan dari al-Hikam, at-Tanwir dan Lathaif.

    Mengenai karamahnya, Al-Munawi dalam Kitab Al-Kawakib al-Durriyyah mengisahkan, “Syekh Kamal ibn Humam berziarah ke makam Syekh Athaillah dan membacakan surat Hud. Sampai pada ayat yang artinya, “Di antara mereka ada yang celaka dan bahagia …” mendadak beliau mendengar suara Syekh Athaillah dari makam: “Wahai Kamal, tak ada yang celaka di antara kita.” Kisah karamah lainnya menyebutkan bahwa suatu ketika seorang muridnya menunaikan haji. Di Mekah murid itu melihat Syekh Ibn Athaillah sedang thawaf. Dia juga melihat gurunya itu berada di maqam Ibrahim dan Arafah. Saat pulang sang murid bertanya kepada teman-temannya apakah waktu itu sang guru berangkat haji. Semua murid bersaksi bahwa Syekh Athaillah tidak pergi haji waktu itu. Murid itu terkejut dan kemudian menemui Syekh Athaillah. Wali Allah ini kemudian bertanya kepada si murid, “Siapa yang kau temui di sana?” Muridnya menjawan, “Saya melihat guru ada di sana…” Syekh Athaillah menjawab, “Rijal Allah itu bisa memenuhi dunia. Kalau saja Wali Qutub dipanggil dari liang lahatnya, niscaya dia akan menjawab.”
    ***
    Demikian sketsa ringkas biografi Syekh Athailah. Sebelum kami tutup pengantar ringkas ini, perlu diperhatikan bahwa kitab al-Hikam ini adalah kitab tasawuf yang bernilai sastra. Dalam konteks ini, al-Hikam adalah kesusastraan esoterik (spiritual). Kandungannya tak hanya berhubungan dengan  makna lahir dan makna batin, makna simbol, atau keindahan, tetapi mengandung semacam elemen “kegaiban” dan “pencerahan spiritual” karena ia lahir dari wilayah gaib yang suci. Tulisan sufi dan Wali, adalah atsar (jejak) dari seorang mukmin – dan seperti sabda Nabi, “atsarun mu’minin barakatun” (jejak orang mukmin itu berkah). Karenanya, para pengamal tasawuf pada umumnya, dan tarekat pada khususnya, dalam membaca kitab tasawuf, apapun bentuknya, tidak sekedar untuk mendapatkan ilmu, untuk menikmati pesona keindahannya, tetapi juga untuk mengharapkan barakah, sesuatu manfaat gaib yang mengalir tanpa disadari oleh akal dan bahkan tanpa diketahui kesadaran kita.

    Karya Tasawuf yang agung itu, jika dibaca dengan benar dan dengan segala kerendahan hati, dan apalagi jika dengan bimbingan Mursyid, akan bersifat seperti badai yang membuka pintu persepsi, kesadaran dan intuisi kita. Kekuatan transformatifnya mampu mengguncang aristektur keyakinan kita, mengubah cara pandang kita, dan menguak berbagai lapisan dimensi yang melampaui batasan ruang dan waktu – dimensi yang lazim kita sebut dimensi keruhanian, yang gaib dan memuat misteri hikmah yang mencerahkan. Kekuatan transformatif inilah yang membuat banyak karya Sufi tak pernah aus oleh gesekan zaman, menjadi mata air inspirasi yang tiada habisnya, sehingga seakan-akan kitab-kitab Tasawuf semacam itu menjadi semacam “karya abadi.” Dan pada akhirnya, semoga setelah membaca syarah yang elok ini, meminjam ungkapan seorang sastrawan besar, “we are not the same when we put down the the work as we were when we took it up.”

    Sumber: http://rumahcahaya.blogspot.com/2011/09/percikan-samudera-hikmah-syarah-kitab.html


    Leave a Reply

    About Me